Because the Spirits are Alive Here (Karena Roh-Roh Hidup di Sini)
Bali. Pulau dewata yang ramai dengan turis. Bagi saya, terlalu ramai dan padat. Ketika mendengar BaliSpirit Festival, saya bertanya-tanya, kenapa mengembangkan festival yoga? Kenapa memfokuskan pada pengolahan pribadi, fisik dan spiritualitas? Kenapa harus Bali lagi? Apakah karena alamnya yang indah? Penduduknya yang ramah dan terbuka? Atau hanya karena Bali sangat terkenal sebagai tempat tujuan turis? Terbayang dalam pikiran saya, Ubud akan padat seperti Kuta. Dipenuhi berbagai turis dan mungkin berdampak buruk bagi kehidupan warga (seperti beberapa tempat wisata yang pernah saya kunjungi). Tidak ingin menilai “buku dari sampulnya”, saya menuju Ubud untuk mengikuti BaliSpirit Festival yang ke-6, 20 – 25 Maret 2013.
“Spirits are alive in Bali. You can feel it when stepped out of the plane(Roh-roh hidup di Bali. Anda bisa merasakannya begitu keluar dari pesawat),” ujar Swami Satyadharma Saraswati dari Satyananda Yoga, Rabu 20 Maret 2013. Dia menyatakan bahwa kita semua, yang diciptakan beragam, merupakan fragmentasi dari energi Yang Tunggal. Namun, karena kita terlalu berkutat pada menciptakan dan keunikan pribadi per pribadi, maka kita kehilangan hubungan keterikatan satu sama lain. Kita kehilangan kebersatuan sebagai sesama mahluk, sehingga kita kehilangan kebersatuan dengan Sang Energi Semesta – in which you may called it God (atau yang kita sebut sebagai Tuhan) – demikian penjelasan Swami Satyadharma.
Saya merinding mendengar penjelasannya. Begitu tenang, begitu yakin, dan seperti membangkitkan kesadaran saya akan sesuatu yang amat kuno, tua; sesuatu yang entah bagaimana terasa amat akrab dan terasa seperti rumah. Memang, Ubud berbeda dari tempat tujuan wisata lain di Bali. Saya – yang tidak rajin mengolah spiritualitas dan pemula yoga – bisa merasakan ada yang berbeda di Ubud. Sesuatu yang hangat dan menggerakkan. Dan sesuatu itu amat kental di BaliSpirit Festival.
BaliSpirit Festival pertama kali dibuat oleh I Made Gunarta, Robert Weber dan Meghan Pappenheim pada tahun 2008. Saat itu, perekonomian Bali terpuruk akibat bom Bali. Mereka bertiga, yang memang tinggal di Ubud, bertekad menggerakkan kembali ekonomi Bali. Tentu tidak dengan wisata tradisional dimana turis datang untuk menikmati lokasi wisata lalu pergi begitu saja. Mereka mengembangkan wisata holistik yang menggabungkan yoga, musik dan tarian; bertujuan mengembangkan kesadaran dan merawat jiwa mereka yang datang, serta mendorong perubahan positif dalam diri mereka. Tidak berhenti di turis yang datang, para pendiri BaliSpirit Festival sedari awal menekankan prinsip “give it back.” BSF sebagai media untuk mengembangkan masyarakat Bali. Pendapatan BSF digunakan untuk program penjangkauan masyarakat. Di tahun ke-6 ini, pendapatan BSF digunakan untuk program AYO!Kita Bicara HIV/AIDS, Bali Re-Green dan pelestarian bahasa Bali oleh Yayasan BasaBali. BSF juga membuka Dharma Fair untuk para pengusaha setempat memasarkan produk-produknya, serta beberapa kegiatan gratis bagi warga sekitar. Di hari terakhir BSF, akan diadakan Hari Cinta Keluarga, dimana setiap keluarga di Bali diundang hadir secara gratis! Selama lima tahun, BSF telah memberikan dampak ekonomi bagi warga Bali sebesar USD$2,380,000 (sekitar 23 milyar rupiah). Aha, inilah yang saya cari! Wisata non-konvensional (yoga, musik, tari) yang dapat memberikan perubahan pribadi, sekaligus memberikan manfaat bagi warga sekitar.
Hmm, beberapa pertanyaan mulai terjawab. Beberapa lainnya masih berputar-putar. Kenapa orang-orang datang ke mari setiap tahunnya, bahkan jumlahnya terus bertambah? Apa yang mereka cari? “Orang-orang datang ke mari karena mereka membutuhkan rehat. Mereka butuh berhenti dari keseharian hidup mereka,” kata Charley Patton, salah satu pendiri Yoga Barn. Betul sekali! Itulah yang saya rasakan. Saya lelah, penat dan ingin berhenti sejenak untuk menarik napas. “Anda tahu bahwa dalam hidup keseharian kita, orang-orang berpura-pura bahwa mereka tidak gila. Berpura-pura bahwa apa yang dilakukan memang sudah seharusnya begitu, normal. Orang-orang menghindari rasa sakit,” tambah Jamie Catto, musisi dan filmmaker dunia yang selama 20 tahun terakhir banyak menginspirasi orang lewat karya dan kelas-kelasnya.
Charley menambahkan bahwa BSF memberikan ruang bagi mereka yang datang untuk bertanya ke diri sendiri tentang hidupnya sehari-hari. Apakah saya sudah memakan makanan yang baik bagi tubuh? Apakah saya berteman dengan orang-orang yang tepat? Apakah saya berada dalam hubungan yang sehat? “Dengan bertanya, orang mulai memperhatikan dan merawat dirinya sendiri. Setelah mereka merawat dirinya sendiri, akan ada perubahan-perubahan dalam diri. Harapannya, perubahan dalam diri mereka akan menarik dan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Jadi, mereka yang datang ke Ubud dapat membawa perubahan positif itu ke tempat mereka tinggal,” tambah Charley. Jamie menegaskan bahwa perubahan itu bukan berarti dari “gelap” ke “terang”. Perubahan berarti perjalanan pribadi dari gelap ke gelap dan terang, merengkuh keduanya; atau malah hanya diam (stand still).
Pernyataan mereka menyentak saya. Rupanya, banyak sekali orang yang seperti saya. Lelah, penat dan resah mencari apa yang hilang dalam hidup keseharian. Beragam orang dari berbagai latar belakang datang ke BaliSpirit Festival. Tahun lalu saja, rata-rata pengunjung harian di pagi hari mencapai 1.000 orang dan di malam hari 2.000 orang. Semua meyakini bahwa ada sesuatu yang lain dalam hidup kita. Sesuatu yang menghidupi, menyatukan dan mengikat setiap mahluk yang hidup di bumi ini. “Orang-orang dari berbagai belahan dunia hadir ke Ubud. Ubud sebagai pusat yang menarik mereka untuk datang. Daya tarik dan praktik yoga menjadi kesamaan. Di tengah keragaman, semua menyadari bahwa kita semua ini satu. Global unity,” tutur Daphne Tse, musisi dari Texas, Amerika Serikat yang mendalami dunia spiritualitas melalui musiknya.
Kesatuan, keterikatan antara kita yang beragam ini. Ya, saya bisa melihat dan merasakan hal tersebut dari BSF 2013. Saya melihat orang-orang tersenyum, menyapa ramah satu sama lain, saling memeluk dan memperhatikan sungguh-sungguh. Saya merasa aman dan terlindungi di sini. Rasa curiga, ketergesaan, dan tuntutan kesempurnaan/ketepatan yang saya rasakan selama tinggal di Jakarta; hilang begitu saja. Mungkin memang benar apa yang dikatakan Swami Satyadharma Saraswati, bahwa roh-roh yang hidup tinggal di Bali. Bali menarik kita semua yang terpencar untuk saling terhubung lagi dan menyatu dengan Yang Esa. Dan BaliSpirit Festival menyediakan ruang kebersatuan itu.
Photo by Fela Adebiyi
Written by : Vincentia Widyasari