Beryoga Nonstop di Bali Spirit Festival
Embusan angin menerpa ilalang. Batang yang beradu menciptakan suara lirih berdesir. Perlahan namun membangkitkan rasa tenang dalam jiwa. Suara jangkrik bersahutan menyemarakkan suasana. Matras yoga warna-warni membentang di atas rumput. Sejauh mata memandang hanya tampak sawah hijau di sekeliling Bhanuswari Resort & Spa—tempat Bali Spirit Festival yang ke-9 diadakan.
Ribuan orang dari belahan dunia berkumpul menyambut acara tahunan Bali Spirit Festival. Salah satunya Zarina Mastikbayeva, wanita asal Kazhakstan, yang saya ajak ngobrol. “Ini adalah pertama kalinya saya ke Bali Spirit Festival. Saya mencari inspirasi dari orang-orang yang hadir dari seluruh dunia. Mereka ingin mengembangkan aspek spiritual dalam dirinya, Saya juga berniat mengembangkan diri dalam hal itu,” ungkap Zarina, yang sudah delapan tahun berlatih yoga.
Bali Spirit Festival memiliki tiga kegiatan dalam acaranya, yaitu yoga, dance, dan musik. Pengajar-pengajar dari seluruh dunia berdatangan, terhitung ada 79 pengajar yoga, dance, meditasi, dan musik mengisi kelas di lima hari acara Bali Spirit Festival yang dimulai dari 30 Maret hingga 3 April 2016. Meski bertugas untuk meliput, saya penasaran dengan kelas yang diadakan. Di Ubud saya menginap di Sapulidi Resort & Spa dan setiap hari datang ke Bhanuswari Resort & Spa untuk mengikuti kelas. Beberapa kelas meninggalkan kesan mendalam pada diri saya.
Belajar yoga ternyata tak sekadar mempraktikkan gerakan saja. Pikiran kita juga bisa dijernihkan dari segala prasangka, seperti di kelas “Embracing The Womanhood” yang dipandu oleh Celine Levy. Sering kali para wanita tak menyadari bahwa ia tidak terhubung dengan energi feminin dalam diri.
“Ayo tunjuk tangan, siapa yang terintimidasi jika ada wanita yang sangat cantik masuk ke ruangan yang sama dengan Anda?” Mayoritas peserta—termasuk saya—mengacungkan tangan. Jika sifat mudah iri itu timbul, artinya kita tidak terhubung dengan energi feminin dalam diri. Energi feminin tugasnya menerima apa yang ada dari luar, termasuk menerima segala kondisi diri sendiri. Di kelas ini kami membentuk dua lapis lingkaran besar.
Dalam posisi duduk, peserta saling menatap mata. Ketika saya membiarkan mata ini menatap ke dalam mata wanita lain, rasanya ada sesuatu yang menyentuh kalbu. Saat itu saya merasa diterima sebagai jiwa yang utuh. Tanpa syarat, tanpa prasangka.
Nuansa damai juga terasa di kelas Pujiastuti Sindhu, seorang guru yoga dari Indonesia. Dengan pelan, suaranya yang berat melantunkan nasihat-nasihat berlandaskan ajaran sufi. “Hanya hati yang terbuka yang bisa menahan tekanan. Hanya hati yang terbuka yang bisa menahan beban,” ucapnya.
Suaranya yang dalam begitu menghanyutkan sehingga hati ini tergerak untuk meresapi makna dibalik petuahnya. Puji menggabungkan antara yoga dengan aspek religi karena menurutnya keduanya berjalan beriringan. Baginya hati yang tertutup bagaikan danau keruh yang tidak bisa dilihat dasarnya. Melalui yoga, ia berharap bisa membantu orang lain membersihkan hati karena hati yang bersih memudahkan kita berserah diri kepada Tuhan.
Saat ingin bersantai, saya mengikuti kelas-kelas dance, salah satunya adalah kelas hula hoop yang diajarkan oleh Francie Fishman. Atraksi sederhana seperti memutar hula hoop ala koboi, hingga yang rumit seperti menangkap hula hoop yang ditendang dengan kaki, diajarkan dengan piawai. Kocaknya, banyak ‘hujan’ hula hoop! Pasalnya, banyak peserta yang cukup kesulitan mengikuti atraksi mahir dari Francie sehingga hula hoop terlempar ke segala penjuru. Kelasnya sangat fun sehingga cocok bagi peserta yang ingin rehat sejenak.
Hari semakin terik tapi tak mencegah saya untuk melangkahkan kaki mengikuti kelas Laughing Yogayang diajari oleh Kay Wararuk Sunonethong dari Thailand. Ketika tertawa, otot diafragma dilatih melebari sehingga kita bisa bernapas dengan lebih dalam. Dengan napas yang dalam, maka kita akan lebih rileks. Mulanya, peserta diminta untuk melatih suara dengan bunyi “ho ho ho ha ha ha”. Dengan gerakan bebek—tangan di samping mengepak-kepak—peserta berputar di taman sambil mengucapkan bunyi-bunyian itu.
Semua peserta berhasil dibuat terpingkal-pingkal dengan metode unik dari Kay. Peserta juga disuruh berakting seakan-akan bertemu dengan teman lama! Hasilnya, peserta yang berpapasan, saling memeluk sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Lima hari sudah saya mengikuti segala kegiatan di Bali Spirit Festival. Awalnya, tak pernah terbersit di pikiran saya jika festival ini bisa mengubah diri saya menjadi diri yang lebih baik. Di hari terakhir saya menyadari, bahwa perasaan ini terasa lega. Kehawatiran yang saya bawa dari Jakarta, terasa sirna.
Sepulang dari Bali, seorang teman berkata, “Kok kamu lebih sering senyum, ya, sekarang?” dan saya menjawab, “Tahun depan, kamu harus datang ke Bali Spirit Festival, deh!,” Yah, pantas saja Zarina Mastikbayeva, kenalan saya dari Kazakhstan itu, rela jauh-jauh ke Ubud untuk mengikuti festival ini. Sekarang saya tahu jawabannya mengapa festival ini sangat ramai peserta dari seluruh dunia.
[Baca juga soal mematahkan stigma yoga]
Foto: Shinta Meliza