Musik Komunal: Bernyanyi untuk Sang Ibu
Siang yang panas dan terik di Purnati (lokasi BaliSpirit Festival 2013 – red). Ini hari ketiga, Kamis 22 Maret 2013. Saya baru saja menyelesaikan dua tulisan untuk blog BSF. Tidak tertarik makan siang, panas terik, dan lelah. Hmm, ke mana saya bisa menyegarkan diri lagi?
Saya mengelilingi arena Purnati sambil melihat-lihat sekitar. Siapa tahu, ada hal menarik. Ketika memasuki areal Bhakti Fair, matahari semakin cerah saja. Tidak ada angin sama sekali. Orang-orang juga terlihat lemas. Pfuiihhh… Dalam hati saya menyemangati diri sendiri, ayo ayo ayo. Aha! Mata saya melihat kubah rumbia berbambu yang terletak di ujung belakang Bhakti Fair. Saya sudah melihatnya beberapa kali, tetapi baru siang ini kubah itu seperti memanggil-manggil saya.
- Kubah rumbia berbambu
(photo by Fela Adebiyi)
Semakin saya mendekat, terdengar sayup-sayup suara perempuan bernyanyi. Saraswati…Saraswati…Saraswati… Saya masuki kubah tersebut. Hanya sedikit orang berada dalam kubah. Mungkin sekitar belasan orang. Mayoritas perempuan.
Sejuk sekali di sini! Udara mengalir lancar, suhunya dalam ruangan sejuk, terlindung dari terik matahari, dan (ini bonusnya) ditemani suara merdu. Tiga orang perempuan bermain instrumen musik dan melantunkan irama lagu berulang dengan kata Saraswati. Dalam tradisi Hindu, Saraswati adalah dewi sumber pengetahuan. Energi kreatif dan pengetahuannya menyatu dengan Brahma untuk membentuk alam semesta. Saya merasa betah di dalam kubah itu.
Musisi berganti. Kali ini seorang lelaki ikut tampil. Sang lelaki membagikan kertas bertuliskan lirik lagu. Ia menjelaskan – maaf, saat itu saya belum tahu namanya – bahwa musik yang dimainkan dalam kubah rumbia itu adalah musik komunal. Musiknya sederhana supaya mudah dibawakan siapapun. Maksudnya adalah mengajak orang berkumpul dan bernyanyi bersama. “Dengan bernyanyi bersama, kita akan semakin erat dan saling terhubung. Kita saling mendukung dan menyembuhkan dengan bersama-sama bernyanyi,” ujar sang lelaki. “O iya, band ini memang belum punya nama. Tetapi kami punya nama loh,” ujarnya. Hahaha, dia seperti bisa membaca pikiran saya! Hope, Kate dan Octavio. Begitu nama mereka.
Awalnya mereka membawakan musik dengan lirik berbahasa Sansekerta. Lagu pertama merupakan penghormatan untuk Adi Para Shakti, energi dasar/inti yang kuno sekali. Saya terbawa dalam irama dan liriknya. Mudah diikuti. Entah karena panas, suara nyanyian, atau memang energi penyembuhan dan kebaikan, semakin banyak orang mendatangi kubah rumbia. Satu persatu mereka masuk. Beberapa masuk bersama anak-anak mereka. Saya perhatikan, ada yang keturunan Kaukasian (kulit putih), ada yang mungkin dari India, mungkin dari China atau Jepang, dan saya sendiri – Indonesia. Kubah rumbia padat! Saya menduga hampir 30 orang ada dalam kubah rumbia. Dan masih saja sejuk. Wow.
Kami bernyanyi bersama, lagu demi lagu. Wajah-wajah kami dipenuhi senyum. Kami duduk santai. Beberapa memeluk anak dan pasangannya. Beberapa menari pelan. Bahkan ada yang berbaring dan tertidur.
Saya semakin rileks, sejuk dan segar. Saya senang dengan alunan sederhana mendayu-dayu ini. Saya tersentuh dengan isi liriknya. Semua berisi penghormatan kepada cinta, kebaikan, dan kegembiraan. Ada satu lagu tentang Rama dan Sinta dari kisah Ramayana. Lagu tersebut untuk menghormati kasih sayang yang muncul dari bersatunya sisi maskulin (Rama) dan feminin (Sinta), serta pentingnya keseimbangan antara keduanya (Hanoman).
Ketika Octavio menghantar kami ke tradisi Afrika, saya tersadar bahwa saya masih harus masuk ke sebuah kelas. Ah, satu lagu terakhir buat saya! Kami bernyanyi tentang Yemaya. Dalam tradisi Afrika, Yemaya adalah ibu pertiwi, energi yang mengatur dan menjaga kita semua. Lagu ini membuat saya merasa di rumah, nyaman dan aman. Saya merasa pulang kepada Sang Ibu.
Yemaya sesu asesu Yemaya.
Yemaya olodo olodo Yemaya.
***
Continue the conversation on Twitter – use #balispirit in your posts on festival highlights, photos and shares.
Lanjutkan pembahasan di Twitter – gunakan #balispirit dalam posting-posting tentang festival, foto dan berbagi media lain.
Written by : vincentia widyasari