Pre-Event: Yogathon 2013, Bakti bagi Kehidupan
Mata saya nyaris tertutup ketika tiba di Desa Seni Canggu, lokasi kegiatan Yogathon, Minggu 17 Maret 2013. Hangatnya udara pagi itu segera membangunkan saya. Yogathon pertama saya, hmmm, akan seperti apakah?
“Celebration of Life”, demikian tema Yogathon kali ini. Peserta diajak merayakan kehidupan dengan beryoga, menari, bernyanyi. Suasana sebuah kampung besar yang hangat langsung terasa begitu saya memasuki Desa Seni. Anak-anak bermain – bahkan juga beryoga! – orang dewasa berlatih yoga, saling bertukar sapa dan akrab dalam pembicaraan, serta para remaja yang asyik berkumpul. Yang tambah menghangatkan hati, mereka semua hadir untuk sebuah maksud baik.
Yogathon, pre-event Bali Spirit Festival, dirancang bagi mereka yang tidak hanya beryoga sebagai olah-fisik, melainkan juga yoga sebagai panggilan pelayanan untuk komunitas. Berbagai kelas yoga, tari dan musik diadakan untuk menggalang dana bagi program “Ayo Kita Bicara HIV/AIDS”. Program ini merupakan program penyadaran HIV/AIDS ke siswa-siswa sekolah di Bali dengan menggunakan pendekatan budaya dan yoga. Hingga kini, sudah 15 sekolah di Kecamatan Tabanan, Bangli dan Karangasem terlibat dalam program “Ayo Kita Bicara HIV/AIDS”. Mereka menilai program ini baik dan berharap agar terus berlanjut. Yogathon berupaya keras mengumpulkan $10,000 agar program ini berlanjut. Ketika saya berbicara dengan beberapa peserta, mereka tahu persis apa yang menjadi tujuan Yogathon. Dengan senang hati mereka terlibat, memberi dan mengembangkan komunitas merupakan bagian dari jalan yoga.
Hati saya tambah berbunga-bunga ketika memasuki kelas anak-anak. Mereka sungguh menikmati waktu di Yogathon. Mereka tidak terabaikan dengan kegiatan yoga para orangtua. Sejak pagi, anak-anak diajak berlatih yoga dengan cara yang menyenangkan. Sekilas tidak seperti yoga, lebih kepada gerak tubuh dan bercerita. Anak-anak diajak melakukan gerakan yoga lewat kisah-kisah hewan, kemudian mereka diajak menari dan bernyanyi, dan akhirnya mendengarkan cerita.
Anak-anak relaksasi setelah beryoga (photo by Ulrike Reinhold)
photo by Ulrike Reinhold
Bagaimana dengan kelas-kelas yoga? Wow, semua kelas penuh! Betapa antusiasnya para peserta, bahkan pada pre-event. Memang, para guru yang hadir adalah para ahli. Diantaranya, Ellen Watson, sang ahli Spirit Dance. Ellen sudah 30 tahun mendedikasikan diri dalam pengembangan moving meditation. Beberapa yang lain Saffire Bouchelion – guru teknik Nia, Angela Perez – guru Ashtanga, Joclyn Gordon – guru hoola hoops, Twee Merrigan – guru Prana flow.
Sesi-sesi healing juga ramai dipadati peserta. Ada access consciousness healing, dimana sang healer menekan titik-titik di kepala untuk membantu aliran energi dan kesadaran. Saluran-saluran yang tersumbat dibuka dengan menekan titik-titik di kepala. Selain itu, ada pula holistic yoga healing dengan antrian klien yang cukup panjang. Kedua jenis healing ini membuka layanan individual bagi peserta. Di kelas healing, ada satu kegiatan kelompok yang membahas tentang body talk dan Franklin method. Barbara Hames hadir menjelaskan tentang kedua metode tersebut dan memberikan beberapa teknik sederhana yang membantu aliran energi dalam tubuh.
photo by Ulrike Reinhold
Pfuiihh, hari yang padat! Syukurlah jadwal yang padat didukung dengan fasilitas dan layanan tim Desa Seni. Para staf dengan cekatan menyiapkan kelapa muda dan makan siang yang lezat. Fully organic! Air mineral juga mudah didapatkan, sehingga mereka yang hadir tidak akan “mati kekeringan.” Ditambah dengan kolam renang yang siap menampung peserta yang lelah kepanasan.
Hari semakin siang, semakin banyak orang datang. Keriaan sore hari semakin bertambah. Kelas-kelas yoga tarian diadakan di sore hari dan akan ditutup pada malam hari dengan musik. Sayang sekali, saya harus kembali ke Ubud. Satu yang jelas tertanam di hati saya, yoga bukan sekadar olah fisik dan gaya hidup yang mengikuti trend. Yoga merupakan bakti bagi kehidupan. Di Yogathon, saya belajar bahwa dengan beryoga, kita juga membantu para remaja di Bali untuk memahami HIV/AIDS. Kita turut serta mencegah penyebaran HIV/AIDS di Bali. Sungguh sebuah Perayaan Kehidupan (Celebration of Life), hidup pribadi, hidup keluarga, dan hidup komunitas di sekitar kita. Namaste.
***
Continue the conversation on Twitter – use #balispirit in your posts on festival highlights, photos and shares.
Lanjutkan pembahasan di Twitter – gunakan #balispirit dalam posting-posting tentang festival, foto dan berbagi media lain.
Written by : vincentia widyasari