Tersihir Dalam Irama Chanting
Allahu’Akbar….Allahu’Akbar…Allahu…
Sayup-sayup nyanyian shalawat terdengar di pelataran Arma. Apakah saya tidak salah dengar? Shalawat? Di sini? Semakin mendekati panggung utama, semakin saya yakin. Pendengaran saya tidak salah. Kamis, 21 Maret 2013, Taman Air Kafe Arma dipenuhi pengunjung yang bersama-sama melantunkan shalawat. Chanting.
Photo by Matt Oldfield
Lantunan lirik dan ritme nada serupa berulang dinyanyikan bersama. Puluhan pengunjung bergerak bebas mengikut irama chanting dalam kondisi seperti tersihir. Mereka bermeditasi dalam musik. Saya mendekati kerumunan pengunjung. Begitu padat, sehingga saya hanya bisa mengamati dan mengikuti dari luar kerumunan. Irama dan lirik chanting berganti. Kali ini bunyinya seperti bahasa Sansekerta. Tradisi Hindu. Para pengunjung terus mengikuti lantunan. Mereka semakin masuk dalam kondisi meditatif. Saya tetap berada di luar kerumunan ketika tatapan saya tertuju pada seorang perempuan.
Perempuan itu berpakaian kebaya putih ala Bali. Matanya menutup. Tubuhnya bergerak mengikuti ritme. Ia berdiri dan menari Bali. Tubuhnya bergetar. Ekspresi wajahnya berubah-ubah. Kadang tampak akan menangis, lalu mendadak tersenyum. Senyum mengembang di bibirnya. Senyumnya pun tidak hanya satu ekspresi, bermacam-macam “gaya” senyum muncul di wajahnya. Saya tak bisa mendefinisikannya. Saya ketahui kemudian, ia perempuan Bali bernama Mudiana. Seorang penyanyi, yang membuka acara di malam itu.
Mudiana ketika bernyanyi membuka acara (photo by Matt Oldfield)
Let there be light. Let there be freedom.
Irama chanting terus dilantukan. Saya merinding melihat Mudiana. Ia seperti berada di dunia lain. Ia seperti dalam ectasy. Tubuhnya terus bergetar dan bergerak. Matanya terus tertutup. Mulutnya terus tersenyum, kadang melebar bahkan tertawa. Saya lihat air matanya menetes, namun tidak ada ekspresi kedukaan dari wajahnya. Mungkinkah ia mengalami keterhubungan dengan para pengunjung lain, bahkan Yang Esa?
Saya terpana. Dari jauh, saya tergetar. Entah karena apa. Sesuatu dalam diri saya tergerakkan dan merasa menjadi bagian dari mereka yang melantunkan lagu. Mungkin ini fenomena group-think yang dikatakan para psikolog, dimana seseorang akan mengikuti perilaku kelompok karena menjadi bagian dari kerumunan kelompok tersebut. Mungkin juga ini memang manifestasi spiritual, dimana keterhubungan antar-mahluk terjalin dan kebersatuan dengan Yang Esa dicapai. Entah. Saya sudah berjanji ke diri sendiri untuk tidak menganalisis. Hadir dan mengalami. Itu saja.
Chanting terus berlanjut. Mudiana terus berada dalam kondisi “tidak natural.” Seorang pengunjung di sebelahnya dan seorang lagi di belakangnya, menyentuhkan tangannya ke tubuh Mudiana. Punggung dan tengkuk Mudiana. Mereka tersenyum memandang Mudiana. Membiarkan, namun tetap memperhatikan dan menjaganya.
Irama lagu semakin pelan, begitu pula lantunan para pengunjung. Mudiana masih berdiri. Tariannya semakin pelan. Tubuhnya masih bergetar. Ia mencoba menenangkan tubuhnya; eh, itu dugaan saya saja. Semakin lama getaran tubunya semakin pelan. Ia lalu duduk bersimpuh. Tersenyum lebar. Ia melekatkan kedua belah tangannya ke dada lalu naik ke depan wajahnya. Posisi puja. Cantik sekali!
Saya turut tersenyum memandangnya. Lalu saya pandangi para pengunjung. Senyum saya semakin melebar. Mereka semua tampak mendapatkan kelegaan dan berbahagia. Perilaku massa karena groupthink-kah atau ketenangan jiwa karena hal spiritual; bagi saya tidak penting lagi. Sungguh malam yang indah.
***
Continue the conversation on Twitter – use #balispirit in your posts on festival highlights, photos and shares.
Written by : Vincentia Widyasari